Rabu, 10 Agustus 2016

Implementasi Teknologi Informasi





Istilah teknologi informasi mulai populer diakhir tahun 70-an. Pada masa sebelumnya istilah teknologi informasi biasa disebut teknologi komputer atau pengolahan data elektornik (elektronik data processing).

Teknologi informasi didefinisikan sebagai teknologi pengolahan dan penyebaran data menggunakan perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software), computer, komunikasi, dan elektronik digital.

Perkembangan teknologi komunikasi di Indonesia selalu berjalan dari masa ke masa. Sebagai Negara yang sedang berkembang, selalu mengadopsi berbagai teknologi informasi hingga akhirnya tiba di suatu masa di mana penggunaan internet mulai menjadi “makanan” sehari-hari yang dikenal dengan teknologi berbasis intenet (internet based technology).

Download untuk Lihat Selengkapnya

Senin, 08 Agustus 2016

Barong Ider Bumi

Tradisi Barong Ider Bumi Ritual Tolak Bala Ala Suku Osing Banyuwangi

Barong Ider Bumi

Suku Using di Desa Kemiren Banyuwangi memiliki tradisi setiap usai Lebaran. Namanya Barong Ider Bumi. Sebuah ritual adat yang digelar untuk menjauhkan desa dari mara bahaya.
Ritual adat bersih desa ini dilakukan masyarakat Desa Kemiren, Kecamatan Glagah Banyuwangi ini setiap 2 Syawal. Tradisi ini ditandai dengan mengarak barong mengelilingi desa yang diakhiri dengan kenduri masal oleh warga di sepanjang jalan desa.
Pada Idul Fitri 1437 Hijriyah ini, ritual Barong Ider Bumi digelar pada Kamis (7/7) tepat pukul 15.00 WIB. Tradisi adat ini diawali ritual sembur othik-othik, yakni ritual melempar (menyembur) uang receh yang dicampur beras kuning dan bunga.
Arak-arakan Barong 

Usai ritual sembur othik-othik, seluruh warga mengarak tiga barong Osing yang diawali dari pusaran (gerbang masuk) desa ke arah barat menuju tempat mangku barong sejauh dua kilometer. Selain warga, para sesepuh juga ikut berjalan mengarak barong-barong tersebut sambil membawa dupa dan melafalkan doa-doa untuk keselamatan seluruh warga.
Setelah diarak sejauh dua kilometer, para Barong digiring kembali ke pusaran untuk selamatan bersama.
Nah, di sinilah puncak acaranya, yakni selamatan dengan menggunakan tumpeng ‘pecel pitik’ (ayam kampung yang dibakar dengan ditaburi kelapa) sebagai wujud rasa syukur kepada Sang Pencipta yang telah memberikan keberkahan.
Puluhan tumpeng ‘pecel pitik’ ditata rapi berjajar disepanjang jalan. Masyarakat dan pengunjung yang menyaksikan ritual sakral ini juga turut diajak kenduri karena setiap rumah membuat tumpeng yang sengaja disuguhkan untuk dinikmati warga lain yang hadir. Sangat meriah namun tetap sakral.
Ritual ini telah dilakukan masyarakat Desa Kemiren sejak ratusan tahun yang lalu. Konon, saat itu Desa Kemiren terkena pageblug (wabah penyakit). Banyak orang yang pagi hari sakit sorenya meninggal. Tidak hanya wabah kematian yang menyerang warga, ratusan hektare sawah juga diserang hama sehingga menyebabkan gagal panen. 
Warga pun mengadakan tirakatan dan berdoa memohon petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Akhirnya, salah seorang tetua adat Desa Kemiren yang bernama Mbah Buyut Cili mendapatkan wangsit lewat mimpinya. Dalam mimpinya, disebutkan untuk mengusir penyakit dan hama yang melanda desa, penduduk harus mengadakan selamatan kampung dengan menggelar ritual arak-arakan barong untuk menolak bencana. 
Acara makan Pecel Pitik sepanjang jalan

Warga pun lalu melaksanakan ritual sesuai mimpi tetua desa. Dan terbukti benar, usai arak-arakan barong dilakukan, bencana menjauh dan desa menjadi damai sejahtera.
Barong adalah kostum dengan topeng dan asesoris yang merupakan penggambaran hewan yang menakutkan. Barong ini dipercaya oleh masyarakat Using memiliki kemampuan untuk mengusir roh jahat. 
Sejak saat itulah, ritual arak barong yang kini disebut Barong Ider Bumi ini menjadi tradisi warga Kemiren. Setiap 2 Syawal, barong diarak keliling desa dengan diiringi pembacaan macapat (tembang Jawa) yang berisi doa kepada Sang Khalik dan nenek moyang untuk menolak bahaya (bala) yang mengancam keselamatan penduduk desa. Ritual adat ini menjadi salah satu atraksi budaya yang menarik para warga. Ribuan warga terlihat tumplek blek memadati jalan sepanjang desa yang menjadi rute arak-arakan barong. Mereka bukan hanya warga lokal, namun juga masyarakat dari luar daerah Banyuwangi.
Sumber :

Tradisi Kebo-Keboan


Icon Kebo-Keboan (BEC)

Kebo-Keboan adalah salah satu tradisi upacara adat yang masih terjaga dan terlaksana hingga saat ini. Kebo - keboan dan keboan adalah ritual adat Tradisi dari dua desa yang berbeda,  yaitu Desa Alas Malang dan Desa Aliyan.  Desa Aliyan menyebut ritual ini dengan nama "KEBOAN" dan desa Alas Malang Menyebutnya " KEBO - KEBOAN" .
Ritual ini dilaksanakan berdasarkan kalender jawa kuno pada "Bulan assura". Keboan/Kebo-keboan ( Kerbau ) nama dari tradisi ini pada zaman dahulu adalah patner bagi para petani dalam mengolala sawah, meskipun tradisi yang dipakai dengan nama keboan namun di sini kerbau tidak dipakai dalam upacara adat tradisi tersebut, melainkan manusia yang didandani menyerupai kerbau. Berbagai  aksesoris yang dipakai seperti lonceng, tandung dan pembajak dengan tubuh bernuansa hitam.

Kebo – Keboan Desa Alas Malang dan Desa Aliyan
Acara Kebo-Keboan  Desa Alas Malang

Berawal dari musim pagebluk dan hama padi ini menyeran seluruh desa ( Alas Malang ) banyak warga yang erkena penyakit hingga meninggal, sehingga sesepuh Desa Mbah Karti melakukan Meditasi di sebuah bukit, ketika beliau melakukan meditasi mendapatkan wangsit / petunjuk bahwasanya warga harus melakukan selamatan dan ritual adat Kebo – keboan dan akhirnya setelah melakukan ritual kebo – keboan atas petunjuk mbah karti hamapun hilang dan warga yang sakit pun kunjung sembuh. Sejak saat itu seluruh masyarakat desa Alas Malang mengadakan ritual adat tersebut secara turun temurun hingga saat ini.
Upacara adat Kebo – Keboan ini dilaksanakan pada hari minggu di bulan assura kalender jawa antara tanggal 1 – 10 , diambil pada hari minggu agar seluruh masyarakat dapat mengikuti kegiatan upacara adat tersebut dan pengambilan bulan assura ini diyakini adalah bulan keramat.
Rangkaian upacara adat kebo – keboan dilaksankan sejak 1 minggu sebelum acara di mulai. Dengan melibatkan seluruh masyarakat untuk bergotong royon membersihkan lingkungan rumah,desa,  dan tempat acara kemudian 1 hari sebelum acara para ibu – ibu menyiapkan tumpeng dan sesajien yang wajib di cantumkan seperti tumpeng,peras, kinang, air kendi, aneka jenang, ingkung ayam dan juga mempersiapakan berbagai para bungkil, singkal (pembajak), cangkul, beras, pisang, pitung tawar, beras, kelapa dan bibit tanaman pagi. Seluruh sesajen tersebut yang akan digunakan untuk selamatan juga beberapa akan ditempatkan di perempatan jalan di dusun krajan.
Selain para ibu – ibu , seluruh pemuda desa juga iktu mempersiapkan tanaman palawija seperti ketela pohon, pisang, tebu, jagung, pala kesimpar , pala gemantung dan pala kependem yang akan di tanam di sepanjang jalan dusun Krajan.


Kebo-Keboan Desa Aliyan
Acara di mulai sejak pagi dengan seremonial dari panitia yang dilanjutkan doa dengan kenduri / selamatan bersama – sama dengan 12 tumpeng, yang memilki filosofi perputaran roda kehidupan manusia 12 jam sehari dan 12 jam semalam. Yang kemudian acara puncak ider Bumi / arak – arakan kerbau keliling kampong yang berakhir di petahunan ( persawahan ). Di depan iring – iringan kerbau berdiri sosok dewi sri ( Dewi Padi ) yang membawa benih untuk disebarkan.
Setelah penanaman / tersebar benih padi, seluruh penonton yang ikut berebut ini akan berhadapaan dengan kebo – keboan yan telah di buat trance / tidak sadarkan diri oleh sang pawing.  Kerbau yang telah tidak sadarkan diri ini menganggap penonton yang ingin berebut benih ini sebagai pengganggu. Penonton yang akan merangsek masuk ini akan di seruduk, dan dilempar kekubangan sawah dengan lumuran lumpur di sekujur tubuhnya. Bagi penonton yang mendapatkan hasil padi yang berhasil mereka ambil, benih – benih padi ini di percaya akan mendapatkan berkah dan panen pani yang melimpang. Seluruh rangkaian akan di tutup dengan pagelaran wayang kulit di tempat yang sama dengan memrankan dewi Sri ( Dewi Padi ) pada malam harinya.
Kebo-keboan merupakan tradisi yang sudah berlangsung turun-temurun dan dimaksudkan sebagai bentuk rasa syukur dari petani sekaligus pengharapan agar hujan turun menyuburkan ladang mereka. Selepas ritual ini, petani dan warga berharap tanah akan subur, panen akan melimpah, serta terhindar dari malapetaka, baik itu yang akan menimpa tanaman maupun kepada warga yang mengerjakannya.


Anda akan melihat puluhan orang berdandan seperti kerbau dan bertingkah polah layaknya kerbau. Mereka umumnya laki-laki bertubuh kekar mengenakan celana pendek, kulit mereka dilumuri arang hitam dan rambut palsu dengan tanduk kerbau, pun lonceng kayu tergantung di leher seperti kerbau. Mereka tidak terkendali dan kesurupan seperti kerbau, terkadang melenguh, makan rumput, dan sering kali juga mengejar penonton. Kebo-keboan ini pun berkubang di sawah basah, beraksi membajak sawah, serta diarak keliling desa diiringi pawai warga.


Keseruan akan terjadi ketika benih biji padi disebar dan warga memperebutkannya karena diyakini sebagai penolak bala, mendatangkan keberuntungan dan membawa berkah. Demi benih itu warga akan saling bergumul dengan kebo-keboan dalam lumpur. Mereka menikmati suasana sawah yang siap ditanami dan akan puas setelah mendapat benih, ikut berkubang dalam lumpur dalam suasana suka cita.
Sebelum ritual kebo-keboan dilangsungkan, beberapa hari warga desa akan mempersiapkan semua keperluan acara ini secara bergotong-royong. Mereka akan membuat sesajen berupa tumpeng ayam dan sajian masakan tradisional khas suku Using, yakni pecel ayam, daging ayam dibakar dan dicampur urap kelapa muda. Disiapkan pula hasil tanaman palawija seperti pisang, tebu, ketela pohon, jagung, pala gumantung, pala kependhem, dan pala kesimpar. Tanaman tersebut akan ditanam kembali di sepanjang jalan Dusun Krajan. Warga juga akan mempersiapkan pula bendungan yang nantinya digunakan untuk mengairi tanaman palawija yang ditanam.


Sumber :

www.banyuwangitourism.com | Kebo-keboan
Kahaningbudaya | keunikan-tradisi-kebo-keboan

Kamis, 04 Agustus 2016

Upacara Adat PUTER KAYUN



Puter Kayun


Disetiap tahun, pada 10 Syawal atau 10 hari sesudah perayaan Lebaran Idhul Fitri, warga Desa Boyolangu, Kecamatan Giri, Banyuwangi mengajak seluruh anggota keluarganya berpawai menggunakan dokar yang dihias warna-warni menuju ke Pantai Watu Dodol. Warga setempat menyebutnya sebagai tradisi Puter Kayun.

Start Puter Kayun di Desa Boyolangu


Puter Kayun adalah salah satu tradisi unik yang sampai saat ini masih dilestarikan masyarakat Using di Desa Boyolangu, Kecamatan Giri, Kabupaten Banyuwangi. Puter Kayun merupakan tradisi yang dilakukan setiap tujuh sampai sepuluh hari setelah lebaran Idul Fitri. 



Tradisi unik ini merupakan napak tilas pembangunan jalan dari Panarukan-Banyuwangi. Napak tilas itu dilakukan dengan menunggang Dokar atau Andong.

Di Boyolangu, tradisi Puter Kayun sudah diwariskan secara turun-temurun. Selain sebagai ungkapan rasa syukur atas rejeki Tuhan, Puter Kayun juga merupakan sebuah tradisi menepati sebuah janji, mereka adalah keturunan Buyut Jaksa atau Ki Martajaya. Konon, Buyut Jaksa yang tinggal di Bukit Silangu adalah seorang yang sangat sakti. Ia adalah orang yang berjasa dalam pembangunan jalan dari Panarukan hingga Banyuwangi di masa Kolonial Belanda. 

Namu usaha pembuatan jalan tersebut terhenti karena menemui rintangan. Rintangan tersebut adalah bukit batu yang keras dan tebal, sehingga tidak terusik sedikitpun oleh kekuatan manusia. Terlebih lagi dibukit itu diyakini ada kekuatan gaib. Tiap hari korban pun berjatuhan dari pihak Pribumi.


Perjalanan menuju Watu Dodol (Finish)

Tradisi yang digelar secara turun temurun setiap lebaran tersebut sebagai ungkapan syukur atas rezeki yang telah diberikan Tuhan, mempererat tali silaturahmi keluarga, sekaligus melakukan napak tilas dari para leluhur warga setempat yang membuat jalan dari Boyolangu menuju Pantai Watu Dodol yang berjarak 15 kilometer.

Jadi Tradisi Puter Kayun sudah dilaksanakan sejak lama. Awal dulu ceritanya, ada Buyut Jokso. Makamnya ada di Boyolangu. Dia salah satu tokoh pada zamannya Mas Alit, bupati pertama, dia itu yang bisa mendodol gunung batu ini. Gunung yang saat ini bernama Watu Dodol ini, bila dilihat sebelum didodol (dibuka), memang menghalangi akses jalan dari Banyuwangi ke Panarukan (Situbondo). Karena kesulitan membongkar, pemerintah Kolonial Belanda, kemudian menyuruh Mas Alit (Bupati pertama Banyuwangi) untuk mencari cara bagaimana membongkar bagian gunung yang menghalangi proyek jalan tersebut. Pembongkaran Gunung Watu Dodol, dipercaya baru bisa dibongkar oleh warga Boyolangu melalui mediasi Buyut Jokso. Gunung tersebut baru bisa dibongkar dengan beberapa syarat. Salah satunya, harus datang dan memberi upacara selamatan tiap tahun. Dari situ, muncullah tradisi Puter Kayun.


Sumber :

Tari Gandrung atau Jejer Gandrung

BUDAYA BANYUWANGI

Taman Blambangan

Kota Banyuwangi yang dikenal sebagai BUMI BLAMBANGAN menyimpan banyak sekali budaya yang masih terjaga hingga sekarang.
Banyak masyarakat luar mengenal Banyuwangi adalah "kota mistis", menurut saya julukan "kota mistis" tersebut disebabkan oleh masih kentalnya budaya dan ritual yang dilakukan masyarakat Banyuwangi, dan dengan demikian adat dan budaya Bumi Blambangan akan terus terjaga seiring berkembangan jaman.


Berikut ini beberapa macam budaya Kota Banyuwangi :
  • Tari Tradisional Gandrung Atau Jejer Gandrung
  • Tari Tradisional Seblang
  • Puter Kayun
  • Kebo-Keboan
  • Petik Laut
  • Tari Tradisional Padang Ulan
  • Rebo Wekasan 
  • Barong Ider Bumi
  • Tumpeng Sewu
  • Obor Belarak
  • Gredoan
  • Endog-Endogan

Dalam artikel ini saya akan sedikit membahas tentang budaya Kota Banyuwangi yang sekaligis menjadi ciri khas atau icon dari Bumi Blambangan ini.

Tari Gandrung atau Jejer Gandrung



Kata ""Gandrung"" diartikan sebagai terpesonanya masyarakat Blambangan yang agraris kepada Dewi Sri sebagai Dewi Padi yang membawa kesejahteraan bagi masyarakat.Tarian Gandrung Banyuwangi dibawakan sebagai perwujudan rasa syukur masyarakat setiap habis panen dengan melibatkan seorang wanita penari profesional yang menari bersama-sama tamu (terutama pria) dengan iringan musik (gamelan). Gandrung merupakan seni pertunjukan yang disajikan dengan iringan musik khas perpaduan budaya Jawa dan Bali. Tarian dilakukan dalam bentuk berpasangan antara perempuan (penari gandrung) dan laki-laki (pemaju) yang dikenal dengan "paju"
Bentuk kesenian yang didominasi tarian dengan orkestrasi khas ini populer di wilayah Banyuwangi yang terletak di ujung timur Pulau Jawa, dan telah menjadi ciri khas dari wilayah tersebut, hingga tak salah jika Banyuwangi selalu diidentikkan dengan gandrung. Kenyataannya, Banyuwangi sering dijuluki Kota Gandrung dan patung penari gandrung dapat dijumpai di berbagai sudut wilayah Banyuwangi.

Kesenian gandrung Banyuwangi muncul bersamaan dengan dibabadnya hutan “Tirtagondo” (Tirta arum) untuk membangun ibu kota Balambangan pengganti Pangpang (Ulu Pangpang) atas prakarsa Mas Alit yang dilantik sebagai bupati pada tanggal 2 Februari 1774 di Ulupangpang Demikian antara lain yang diceritakan oleh para sesepuh Banyuwangi tempo dulu.

Mengenai asalnya kesenian gandrung Joh Scholte dalam makalahnya antara lain menulis sebagai berikut: Asalnya lelaki jejaka itu keliling ke desa-desa bersama pemain musik yang memainkan kendang dan terbang dan sebagai penghargaan mereka diberi hadiah berupa beras yang mereka membawanya di dalam sebuah kantong. (Gandroeng Van Banyuwangi 1926, Bab “Gandrung Lelaki”).

Apa yang ditulis oleh Joh Scholte tersebut, tak jauh berbeda dengan cerita tutur yang disampaikan secara turun-temurun, bahwa gandrung semula dilakukan oleh kaum lelaki yang membawa peralatan musik perkusi berupa kendang dan beberapa rebana (terbang). Mereka setiap hari berkeliling mendatangi tempat-tempat yang dihuni oleh sisa-sisa rakyat Balambangan sebelah timur (dewasa ini meliputi Kab. Banyuwangi) yang jumlahnya konon tinggal sekitar lima ribu jiwa, akibat peperangan yaitu penyerbuan Kompeni yang dibantu oleh Mataram dan Madura pada tahun 1767 untuk merebut Balambangan dari kekuasaan Mangwi, hingga berakirnya perang Bayu yang sadis, keji dan brutal dimenangkan oleh Kompeni pada tanggal 11 Oktober 1772. Konon jumlah rakyat yang tewas, melarikan diri, tertawan, hilang tak tentu rimbanya atau di selong (di buang) oleh Kompeni lebih dari enam puluh ribu jiwa. Sedang sisanya yang tinggal sekitar lima ribu jiwa hidup telantar dengan keadaannya yang sangat memprihatinkan terpencar cerai-berai di desa-desa, di pedalaman, bahkan banyak yang belindung di hutan-hutan, terdiri dari para orang tua, para janda serta anak-anak yang tak lagi punya orang tua.(telah yatim piyatu) dan selain itu ada juga yang melarikan diri menyingkir ke negeri lain. Seperti ke Bali, Mataram, Madura dan lain sebagainya.

Setelah usai pertunjukan gandrung menerima semacam imbalan dari penduduk yang mampu berupa beras atau hasil bumi lainnya dan sebagainya. Dan sebenarnya yang tampaknya sebagai imbalan tersebut, merupakan sumbangan yang nantinya dibagi-bagikan kepada mereka yang keadaannya sangat memprihatinkan dipengungsian dan sangat memerlukan bantuan, baik mereka yang mengungsi di pedesaan, di pedalaman, atau yang bertahan hidup dihutan-hutan dengan segala penderitaannya walau peperang telah usai.

Mengenai mereka yang bersikeras hidup di hutan dengan keadaannya yang memprihatinkan tersebut, disinggung oleh C. Lekerkerker yang menulis beberapa kejadian setelah Bayu dapat dihancurkan oleh gempuran Kompeni pada tanggal 11 Oktober 1772, antara lain sebagai berikut; Pada tanggal 7 Nopember 1772, sebanyak 2505 orang lelaki dan perempuan telah menyerahkan diri ke Kompeni, Van Wikkerman mengatakan bahwa Schophoff telah menyuruh menenggelamkan tawanan laki-laki yang dituduh mengobarkan amuk dan yang telah memakan dagingnya dari mayatnya Van Schaar. Juga dikatakan bahwa orang-orang Madura telah merebut para wanita dan anak-anak sebagai hasil perang. Sebagian dari mereka yang berhasil melarikan diri kedalam hutan telah meninggal karena kesengsaraan yang dialami mereka. Sehingga udara yang disebabkan mayat-mayat yang membusuk sampai jarak yang jauh. Yang lainnya menetap dihutan-hutan seperti; Pucang Kerep, Kali Agung, Petang dan sebagainya. Dan mereka bersikap keras tetap tinggal dalam hutan dengan segala penderitaannya.

Berkat munculnya gandrung yang dimanfaatkan sebagai alat perjuang dan yang setiap saat acap kali mengadakan pagelaran dengan mendatangi tempat-tempat yang dihuni oleh sisa-sisa rakyat yang hidup bercerai-berai di pedesaan, di pedalaman dan bahkan sampai yang masih menetap di hutan-hutan dengan keadaannya yang memprihatinkan, kemudian mereka mau kembali kekampung halamannya semula untuk memulai membentuk kehidupan baru atau sebagaian dari mereka ikut membabat hutan Tirta Arum yang kemudian tinggal di ibukota yang baru di bangun atas prakarsa Mas Alit. Setelah selesai ibu kota yang baru dibangun dikenal dengan nama Banyuwangi sesuai dengan konotasi dari nama hutan yang dibabad (Tirta-arum). Dari keterangan tersebut terlihat jelas bahwa tujuan kelahiran kesenian ini ialah menyelamatkan sisa-sisa rakyat yang telah dibantai habis-habisan oleh Kompeni dan membangun kembali bumi Belambangan sebelah timur yang telah hancur porak-poranda akibat serbuan Kompeni (yaitu yang dewasa ini meliputi Daerah Kabupaten Banyuwangi).

Gandrung wanita pertama yang dikenal dalam sejarah adalah gandrung Semi, seorang anak kecil yang waktu itu masih berusia sepuluh tahun pada tahun 1895. Menurut cerita yang dipercaya, waktu itu Semi menderita penyakit yang cukup parah. Segala cara sudah dilakukan hingga ke dukun, namun Semi tak juga kunjung sembuh. Sehingga ibu Semi (Mak Midhah) bernazar seperti “Kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing” (Bila kamu sembuh, saya jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi). Ternyata, akhirnya Semi sembuh dan dijadikan seblang sekaligus memulai babak baru dengan ditarikannya gandrung oleh wanita.

Menurut catatan sejarah, gandrung pertama kalinya ditarikan oleh para lelaki yang didandani seperti perempuan dan, menurut laporan Scholte (1927), instrumen utama yang mengiringi tarian gandrung lanang ini adalah kendang. Pada saat itu, biola telah digunakan. Namun, gandrung laki-laki ini lambat laun lenyap dari Banyuwangi sekitar tahun 1890an, yang diduga karena ajaran Islam melarang segala bentuk transvestisme atau berdandan seperti perempuan. Namun, tari gandrung laki-laki baru benar-benar lenyap pada tahun 1914, setelah kematian penari terakhirnya, yakni Marsan.

Menurut sejumlah sumber, kelahiran Gandrung ditujukan untuk menghibur para pembabat hutan, mengiringi upacara minta selamat, berkaitan dengan pembabatan hutan yang angker.

Tradisi gandrung yang dilakukan Semi ini kemudian diikuti oleh adik-adik perempuannya dengan menggunakan nama depan Gandrung sebagai nama panggungnya. Kesenian ini kemudian terus berkembang di seantero Banyuwangi dan menjadi ikon khas setempat. Pada mulanya gandrung hanya boleh ditarikan oleh para keturunan penari gandrung sebelumnya, namun sejak tahun 1970-an mulai banyak gadis-gadis muda yang bukan keturunan gandrung yang mempelajari tarian ini dan menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian di samping mempertahankan eksistensinya yang makin terdesak sejak akhir abad ke-20.


Sumber :

Wikipedia | Gandrung

TARIAN "MISTIS" SEBLANG

Icon Seblang

Masyarakat Using sebagai suku asli Kabupaten Banyuwangi mempercayai Seblang merupakan singkatan dari "Sebele Ilang" atau "sialnya hilang". Ritual Seblang adalah salah satu ritual masyarakat Osing yang hanya dapat dijumpai di dua desa dalam lingkungan kecamatan Glagah, Banyuwangi, yakni desa Bakungan dan Olehsari. Ritual ini dilaksanakan untuk keperluan bersih desa dan tolak bala, agar desa tetap dalam keadaan aman dan tentram. 

Penyelenggaraan tari Seblang di dua desa tersebut juga berbeda waktunya, di desa Olehsari diselenggarakan satu minggu setelah Idul Fitri, sedangkan di desa Bakungan yang bersebelahan, diselenggarakan seminggu setelah Idul Adha. 

Para penarinya dipilih secara supranatural oleh dukun setempat, dan biasanya penari harus dipilih dari keturunan penari seblang sebelumnya. Di desa Olehsari, penarinya haruslah gadis yang belum akil baliq, sedangkan di Bakungan, penarinya haruslah wanita berusia 50 tahun ke atas yang telah mati haid (menopause).


SEBLANG BAKUNGAN

Seblang Bakungan
Upacara ritual Tari Seblang Bakungan diawali dengan berziarah ke makam leluhur desa, Buyut Witri dengan membawa berbagai macam perlengkapan. Mereka juga mengambil air dari sumber mata air di lingkungan Watu Ulo. Nantinya air tersebut dipercikkan di sudut-sudut desa.

Setelah itu mereka menyiapkan syarat untuk ritual Tari Seblang yang terdiri dari ketan sabrang, ketan wingko, tumpeng, kinangan, bunga 500 biji, tumpeng takir, boneka, pecut dan kelapa yang menjadi perlambang kejujuran.

Setelah magrib, ritual diawali dengan berkeliling desa dengan membawa obor atau dikenal dengan ider bumi. Uniknya saat prosesi ini, semuan listrik di Desa Bakungan dipadamkan dan penerangan hanya didapatkan dari obor yang dibawa warga. Di setiap pojok desa, mereka akan berhenti sambil melafalkan doa-doa keselamatan.

Setelah selamatan, penari Seblang yang sudah berusia tua yang sudah memasuki masa menopause memasuki Sanggar Seni Bunga Bakung. Tahun ini penari yang terpilih bernama Supani yang masih keturunan dari Ki Saiman, pendiri Desa Bakungan. Nuansa mistis langsung terasa ketika aroma dupa wangi terhirup serta saat mantra serta doa dibacakan. Tidak menunggu lama, wanita tua tersebut langsung tidak sadarkan diri dan menari dalam keadaan kesurupan.

Di antara gending yang dibawakan, ada juga pertunjukan sabung ayam yang menggambarkan perlawanan masyarakat Kerajaan Blambangan melawan penjajah. Termasuk juga kegiatan "adol kembang" atau jual bunga di tengah-tengah tarian ritual Tari Seblang. Dengan membeli bunga tersebut, masyarakat percaya jika bunga tersebut membawa keberuntungan bagi pembelinya.

SEBLANG OLEHSARI

Seblang Olehsari


Kabupaten Banyuwangi memiliki tarian magis yang digelar setiap setahun sekali setelah Hari Raya Idul Fitri. Tarian yang dibawakan seorang gadis dalam keadaan tidak sadar tersebut dikenal dengan tarian Seblang Olehsari.

Tarian tersebut dilakukan selama tujuh hari berturut-turut pada bulan Syawal di Desa Olehsari, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi. Penentuan waktu dan siapa yang akan menarikan tarian yang berusia ratusan tahun tersebut melalui proses 'kejiman' atau kerasukan yang dialami oleh tetua di Desa Olehsari, Banyuwangi.

Tidak seperti penari pada umunya, penggunaan make up sangat minimalis. Hanya bedak tipis, perona mata, dan lipstik. Setelah menggunakan kain panjang dan menggunakan kemben, Diah begitu panggilannya menutupi kepala dan wajahnya dengan kain panjang.

Lalu mereka bersiap di jalan desa dengan rombongan keluarga yang akan mengiringi penari Seblang menari. Seorang dukun membakar dupa dan seorang perempuan tua membawa makhkota Seblang yang terbuat dari pupus daun pisang, yang diletakkan di atas sebuah nampan.

Penari memegang nampan lalu doa-doa dirapalkan. Jika nampan yang dipegang jauh, berarti sang penari sudah kerasukan dan dia akan menari selama kurang lebih 3 jam diiringi oleh sinden dan pemain musik yang masih memiliki kekerabatan.


Penari Seblang menari mengelilingi payung Agung diiringi sekitar 45 gending atau lagu. Penari juga mengajak penonton untuk menari dengan melemparkan selendang ke kerumunan masyarakat.

Siapa yang terkena selendang wajib naik ke atas pentas dan ikut menari bersama seblang. Sementara itu saat gending yang dimainkan Kembang Dirmo, penari Seblang menjual bunga yang berisi 3 kuntum bunga yang dirangkai di bambu kecil.

Masyarakat percaya bunga tersebut memiliki khasiat untuk keselamatan, keberuntungan, rejeki dan tolak bala.



Sumber :

Wikipedia | Seblang
Kompas.com | Seblang Bakungan
Kompas.com | Seblang Olehsari